Cinta dalam Timbangan Islam


Setiap orang punya persepsi yang berbeda-beda tentang cinta, tergantung pengalaman macam apa yang mereka rasakan berkaitan dengan kata ini. Ada yang menggambarkannya dengan sesuatu yang indah, ada yang biasa-biasa saja, bahkan ada yang menganggapnya sebagai sumber penderitaan. Jadi, penilaian terhadap cinta boleh dibilang bersifat subyektif, tergantung perspektif yang digunakan yang biasanya terkait dengan pengalaman personal masing-masing. Tetapi tentunya ada standar baku dalam memaknai cinta bukan?
Cinta sendiri sering diekspresikan para penyair dalam karya-karyanya. Sifatnya yang universal menjadikannya bahan eksplorasi yang tiada habis. Kekuatannya mampu menembus sekat-sekat yang dibuat manusia berupa pangkat, jabatan, kekayaan, strata sosial dan yang sejenisnya. Kisah seorang pangeran yang mencintai petani, bangsawan yang mencintai rakyat jelata, atau si kaya yang mencintai si miskin sudah bukan barang baru lagi. Walaupun memang terkadang sekat-sekat ini yang menjadi penghalang bersatunya insan yang saling mencintai kedalam ikatan perkawinan. Sebut saja kisah tentang Qois (yang dikenal dengan majnun) dan Laila sebagai contoh. Keduanya adalah korban kebebalan dan belenggu tradisi berupa sekat-sekat tadi.
'The magic word', mungkin istilah yang tepat untuk menggambarkan kata satu ini. Dalam sejarah kita mengenal Antonio, penguasa imperium Romawi yang merupakan imperium terbesar di dunia kala itu, ia mengorbankan tahtanya demi sang kekasih, Cleopatra. Kita juga tahu kisah tentang Mughits yang bercucuran air matanya di sepanjang jalan ketika mengikuti Barirah - istri yang telah dicerainya - karena perasaan cintanya yang begitu mendalam. Sederet contoh lainnya banyak juga bertebaran menghiasi buku sejarah. Begitu hebat kan?
Yang jadi pertanyaan, seperti apa sebenarnya hakikat 'the magic word' ini? Apakah dia sesuatu yang nyata atau sekedar ilusi dan imajinasi semata?
Hakikat Cinta
Ada anggapan yang sering keliru dan terlalu dibuat-buat terhadap para ulama kita (baca: ulama salaf), kebanyakan orang menganggap bahwa mereka adalah orang-orang konservatif yang hanya bergumul dengan permasalahan fikh dan hadits, sehingga sering disebut sebagai  ulama tekstual, ulama yang hanya paham tentang permasalahan haid dan nifas saja. Padahal, justru karena begitu tinggi frekuensi mereka dalam menyelami makna-makna Al Qur'an dan Hadits, menjadikan mereka lebih tahu tentang keadaan manusia dan segala permasalahannya, termasuk masalah cinta.
Para ulama kita bersepakat bahwa cinta mempunyai hakekat, bukan sekedar khayalan. Pendapat ini membantah sebagian tokoh barat yang mengatakan bahwa cinta hanya omong kosong belaka yang tidak punya nilai ilmiah, sesuatu yang fiktif, dan tipu daya psikologis yang dapat meracuni otak. Pendapat ini tidak lepas dari paham materialisme yang mereka anut, yakni tidak meyakini sesuatu yang tidak dapat dirasa dan diamati oleh indera (sehingga mereka tidak mengakui keberadaan Allah Azza wa Jalla, wal iyadzu billah).
Pendapat para ulama, seperti Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, Ibnu Hazm, Muhammad bin Daud Adz Dzahiri, dan Ibnul Jauzy bertemu pada satu titik yang sama, yakni bahwa cinta merupakan persamaan atau kecocokan jiwa para pencinta. Pendapat ini berpijak pada hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam: ''Ruh itu laksana pasukan yang dikerahkan. Seberapa jauh pasukan itu saling mengenal, sejauh itu pula mereka akan bersatu, dan seberapa jauh mereka tidak saling mengenal, sejauh itu pula mereka akan berselisih.'' (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lainnya).
Ibnu Hazm mengatakan (sebagaimana dikutip oleh Muhammad Ibrahim Mabrouk dalam ''Cinta dalam Perspektif Islam'') bahwa sesuatu akan saling tarik menarik dengan yang sesuai dengannya. Menurut beliau, semua tingkah laku manusia dengan pasangannya sudah dimaklumi oleh fitrah manusia, maka seseorang akan merasakan ketenangan ketika ia berada dekat dengan kekasihnya. Allah berfirman, ''Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.'' (QS. Al A'raaf: 189).
Kemudian beliau melanjutkan bahwa jika alasan sebuah cinta adalah karena indahnya bentuk tubuh atau secara fisik saja, maka konsekuensinya seseorang tidak akan mencintai orang yang kurang cantik (atau yang lebih jelek darinya). Padahal banyak ditemukan orang yang tertarik dengan yang parasnya tidak begitu cantik. Orang inipun tahu bahwa ada yang lebih cantik dari dia. Meski begitu tidak ditemukan penyimpangan hati dari sang kekasih yang kurang cantik tadi.
Imam Ibnul Jauzi dalam buku yang sama mengatakan bahwa cinta tidak akan terjadi kecuali bagi yang memiliki kesamaan dan kadarnya berkurang atau bertambah sesuai dengan tingkat kecocokannya. Beliau berdalil dengan hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam diatas.
Di tempat yang lain Muhammad Ibrahim Mabrouk mengutip pendapat Ibnul Qoyyim yang mengatakan bahwa setiap orang akan mencurahkan sesuatu kepada seseorang yang sesuai dengan dirinya. Persesuaian yang dimaksud adalah kesamaan akhlak dan ruh serta condongnya setiap jiwa kepada apa yang sesuai dengannya. Maka kesamaan sesuatu akan membuatnya saling mendorong, dan dua jiwa yang bersesuaian bentuk dalam asal penciptaannya akan saling menarik satu sama lain.
Mungkin akan timbul pertanyaan, jika memang penyebab cinta adalah adanya kesamaan watak antara dua pribadi yang berbeda, maka bagaimana bisa terjadi seseorang mencintai si A sementara si A sendiri tidak mencintainya? Alasannya, menurut Ibnul Jauzi, karena tabiat orang yang dicintai terdapat kecocokan dengan tabiat orang yang jatuh cinta tadi, sedangkan tabiat orang yang jatuh cinta itu tidak sesuai dengan apa yang menjadi kecenderungan orang yang dicintai.
Indikasi Adanya Cinta
Pandangan mata kosong, langkah lunglai, dan tidak enak makan karena rindu yang mendalam merupakan identifikasi adanya benih-benih cinta bahkan mengarah pada mabuk cinta (Al 'Isyqu). Sebagian filosof berkata tentang ini (Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Ibnul Qoyim), ''Kerinduan adalah kerakusan yang muncul di dalam hati, yang terus bergerak dan tumbuh, kemudian bisa terarah dan menyatu dengan hasrat. Jika cinta buta ini semakin menguat, maka orang yang mengalamainya akan bertambah tergetar, gundah, dan ingin mendapatkan apa yang diharapkannya, sehingga seringkali menimbulkan keresahan hati dan kekhawatiran. Sudah barang tentu aliran darah saat itu memusat di otak dan jantung.
Jika aliran darah terlalu banyak memusat di otak, maka menimbulkan gangguan pikiran. Jika pikirannya terganggu berarti akalnya sudah tidak terkontrol lagi. Dia bisa mengharapkan apa yang tidak mungkin terjadi, mengangan-angankan apa yang tidak tercapai, sehingga akhirnya bisa menjurus kepada gila. Dalam keadaan seperti itu, boleh jadi orang yang dimabuk cinta bisa bunuh diri atau mati karena merana. Atau dia melihat orang yang dicintainya lalu mati seketika itu pula karena tak mampu menahan luapan kegembiaraan.
Dalam buku yang sama Ibnul Qoyyim menyebutkan tanda-tanda cinta, diantaranya: menghunjamkan pandangan mata, malu jika dipandang orang yang dicintai, banyak mengingat, membicarakan, dan menyebut nama orang yang dicintai, tunduk kepada perintahnya dan mendahulukannya daripada kepentingan sendiri, bersabar menghadapi gangguannya, memperhatikan perkataannya, mencintai tempat dan rumahnya, segera menghampiri yang dicintai, mencintai apa yang dicintai olehnya, jalan terasa pendek sekalipun panjang saat mengunjunginya, salah tingkah jika bertemu, kaget dan bergetar tatkala berhadapan atau mendengar namanya disebut, cemburu, berkorban untuk mendapatkan keridhaan, menyenangi apa yang disenanginya, suka menyendiri, tunduk dan patuh pada orang yang dicintai, helaan napas yang sering dan panjang, menghindari hal-hal yang merenggangkan hubungan dan membuatnya marah, dan adanya kecocokan antara orang yang mencintai dan yang dicintai. Apakah anda terkena salah satunya? :-)

Cinta Buta (Al Isyqu) Tumbuh Karena Inisiatif atau Ketetapan?
Terjadi kontroversi dalam masalah ini sebagaimana yang diuraikan olah Ibnul Qoyyim, ada golongan yang berpendapat bahwa cinta buta tumbuh karena ketetapan dan bukan karena inisiatif pelakunya. Mereka menganalogikan dengan keinginan untuk minum tatkala haus dan keinginan untuk makan tatkala lapar, yang tentu saja keadaan ini tak bisa dibendung. Ibnu Hazm berkata, ada seorang laki-laki berkata pada Amirul Mukminin, Umar bin Al Khattab, '' Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya saya melihat seorang wanita lalu saya sangat cinta padanya.'' Umar berkata, ''Itu adalah sesuatu yang tidak mungkin dibendung.''
At Tamimy berkata dalam Imtizajul Arwah, ''Ada tabib ditanya tentang cinta buta. Maka dia menjawab, ''Tumbuhnya cinta itu bukan karena inisiatif pelakunya, bukan karena keinginannya dan bukan merupakan kenikmatan bagi kebanyakan manusia. Tumbuhnya cinta itu laksana datangnya penyakit yang kronis. Tidak ada perbedaan di antara keduanya.''
Al Mada'iny berkata, ''Seseorang mencela temannya yang jatuh cinta. Maka orang yang dicela itu berkata, ''Andaikata orang yang jatuh cinta itu bisa memilih, tentu aku tidak akan memilih jatuh cinta.''
Sementara golongan yang kedua berkata bahwa yang disebut inisiatif ialah yang mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya, atau menguasai nafsu, yang karenanya Allah memuji orang yang bisa menahan dirinya dari bisikan hawa nafsu, sebagaimana firman-Nya, ''Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran RabbNya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.'' (An Nazi'at: 40-41)
Mereka mengatakan bahwa cinta adalah inisiatif dari jiwa terhadap orang yang dicintai, bukan merupakan ketetapan yang tidak termasuk dalam kesanggupan manusia. Allah mencela orang-orang yang memiliki cinta yang merusak, yaitu mencintai selain-Nya sebagai tandingan. Andaikata cinta itu merupakan takdir, tentunya mereka tidak akan dicela. Karena cinta merupakan kehendak yang sangat kuat, sementara manusia dipuji dan dicela karena kehendaknya, maka pujian  diberikan kepada orang yang mempunyai kehendak yang sangat kuat untuk berbuat baik, sekalipun dia belum mengerjakannya.
Sebaliknya, celaan diberikan kepada orang yang berkehendak untuk bebuat kejelekan, sekalipun dia belum mengerjakannya. Allah mencela orang-orang yang senang jika kekejian menyebar di kalangan orang-orang yang beriman, dan mengabarkan bahwa mereka akan mendapatkan adzab yang pedih. Andaikata cinta itu tidak mampu dikendalikan, tentunya mereka tidak akan diancam dengan adzab, karena sesuatu yang berada di luar kesanggupannya. Orang yang berakal sepakat untuk mencela orang yang suka bermain api dengan cinta. Ini merupakan fitrah yang diberikan Allah kepada manusia. Jika ada yang beralasan, bahwa dia tidak sanggup menguasai hatinya, maka alasan itu tidak akan diterima.
Ibnul Qoyyim menengahi kontroversi yang terjadi ini. Beliau berpendapat bahwa kita perlu melihat sebab timbulnya cinta buta tadi. Seperti contohnya orang yang mabuk minum khamr. Perbuatan minum khamr merupakan inisiatifnya sendiri, walaupun akibat yang ditimbulkan, yaitu mabuk, merupakan suatu ketetapan yang pasti terjadi karena mimum khamr. Selagi sebabnya terjadi karena kehendaknya dan merupakan sesuatu yang diperingatkan, maka mabuk itu bukan termasuk sesuatu yang dimaafkan.
Begitu juga dalam masalah cinta. Tidak diragukan lagi bahwa mengumbar pandangan dan mengulur-ulur pikiran, serupa dengan orang yang mabuk karena minum khamr. Dia dicela karena sebabnya. Adapun jika dia melihat secara tidak sengaja, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, maka cinta yang tumbuh dihatinya karena pandangan seperti ini berada di luar kehendaknya, setelah dia berusaha untuk menepis cinta itu dari hatinya.
Bagaimana Mewujudkan Cinta?
Ada rumusan menarik yang diajukan oleh Muhammad Ibrahim Mabrouk dalam bukunya ''Cinta dalam Perspektif Islam''. Menurutnya cinta + dekat dengan kekasih =  tujuan kebahagiaan dan kesejahteraan, dan sebaliknya: cinta + tersekat dari kekasih = cobaan dan ketakutan. Kadar kejauhan seseorang dari kekasihnya akan menentukan kadar kecintaan sepasang kekasih. Cinta dalam keadaan yang selalu berdampingan atau sekedar harapan dalam berdampingan adalah merupakan cinta yang sangat sehat dan kuat. Keinginan untuk dekat dengan orang yang dikasihi bagaikan sebuah mukjizat yang memberikan semangat.
Maka itu, diri seorang yang mencinta selalu menginginkan pertemuan antara dirinya dengan diri orang yang dicintai. Ia tidak memiliki eksistensi lagi kecuali dengan bertemu dengan sang kekasih, dan sesungguhnya dirinya selamanya tidak akan tenang kecuali dengan mengejawantahkan eksistensi dirinya dengan cara berkumpul dengan orang yang dicintai. Karena itu, seorang pencinta akan selalu berbuat apapun demi merealisasikan keinginannya.
Nikah, Sebuah Solusi
Bersatunya sepasang kekasih yang saling mencintai sebagaimana rumusan tadi merupakan tujuan kebahagiaan dah kesejahteraan. Tentunya harus ada ikatan yang   sah secara syar'i antara dua insan ini, yaitu dengan jalan pernikahan. Inilah obat penawar yang diberikan Allah kepada hamba-hambaNya, bukan dengan jalan pacaran sebagaimana yang sedang marak saat ini. Berapa banyak kehormatan terkoyak dari hubungan model ini?
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda, ''Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri anak Adam bagiannya dari zina. Dia mengetahui yang demikian tanpa dipungkiri. Mata itu bisa berzina, dan zinanya mata adalah pandangan. Lidah itu bisa berzina dan zinanya adalah perkataan. Kaki itu bisa berzina dan zinanya adalah ayunan langkah. Tangan itu bisa berzina dan zinanya adalah tangkapan yang keras. Hati itu bisa berkeinginan dan berangan-angan. Sedangkan kemaluan membenarkan yang demikian itu atau mendustakannya.'' (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, An Nasa'i dan Abu Daud)
Adapun pernikahan merupakan sebuah prosedur yang legal secara syar'i yang semua orang sepakat bahwa inilah cara untuk menjaga kehormatan diri, cara yang manusiawi karena membedakan antara manusia dengan binatang, dan yang diterima dan diakui secara bulat oleh akal yang masih sehat. Dari sini akan dihasilkan sebuah institusi yang mengayomi dan melindungi yang bernama keluarga, bukan institusi ala binatang (baca: kumpul kebo) yang lahir dari hawa nafsu dan rendahnya rasa tanggung jawab.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, ''Dialah yang menciptakan kalian dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.'' (Al A'raf: 189). Dalam riwayat Baihaqi disebutkan bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam bersabda, ''Jika seorang hamba telah menikah, berarti ia telah menyempurnakan setengah dari agamanya. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada setengah lainnya.''
Jadi, rumusan diatas perlu disempurnakan menjadi: Cinta + Pernikahan = Tujuan Kebahagiaan dan Kesejahteraan. Ada yang keberatan? (MT. Aminudin)
Referensi:
1.      Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, Darul Falah, 1419 H
2.      Cinta dalam Perspektif Islam Revolusi Melawan Paham Materialisme, Muhammad Ibrahim Mabrouk, Pustaka Azzam, 2002

No comments:

Post a Comment

My Facebook

 
Home | Gallery | Tutorials | PAY Malang| About Us | Contact Us

Copyright © 2009 Goresan Penaku |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Catatan Hati

Happy Blogging(^_^)